PASARBUKU.COM

Gerbang Informasi Dunia Literasi Indonesia

Opini

Menjawab Persoalan Sastra Islam

Oleh ABDUL HADI WM

Mempelajari sastra Islam dengan tekun tidak berarti harus menutup kemungkinan mempelajari sastra Barat atau Asia di luar tradisi Islam. Justru peradaban Islam berkembang dalam sejarahnya karena umat Islam rajin mempelajari tradisi bangsa lain, di samping tradisinya sendiri. Hanya perbedaannya kini cendekiawan kita baru dalam taraf menyontek dari Barat, dan belum dapat mengembangkan pemikiran dan teori Barat itu menjadi benar-benar bercorak Indonesia atau Islam sehingga relevan untuk mengkaji perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia yang religius. Ini berbeda dengan Ibn Sina. Ia tidak sekadar menerjemahkan pemikiran Aristoteles, tetapi juga menafsirkan, mengkritik dan kemudian mencipta pemikiran baru yang Islami. Mungkin kita juga mesti belajar dari kaum cendekiawan mutakhir Iran.

Mereka tekun mempelajari kebudayaan dan ilmu pengetahuan Barat, tetapi pada saat yang sama giat mengkaji khazanah intelektual dan budaya mereka yang kaya. Tentu saja kondisi ini hanya mungkin tercipta jika dunia pendidikan kita prihatin terhadap masalah ini. Eddy A Effendi berbicara tentang takaran dalam menilai karya sastra. Setiap pengamat saya kira mesti mempunyai takaran, namun takaran bukan harga mati. Ia masih dapat diperdebatkan, didialogkan, dengan hujah-hujah yang mendasar dan kuat, serta relevan. Sungguh bodoh seorang penilai yang tidak mempunyai metode dan kerangka teori dalam melakukan penilaian. Dalam memandang sastra Islam tentu saja kita mesti melihatnya dari sudut pandang Islam. Kalau tak mau merujuk pada Alquran dan Hadis melalui kaedah penafsiran hermeneutik, kita boleh mencari rujukannya dalam Ijmak dan Qiyas, yaitu pandangan para sarjana dan intelektual Islam yang benar-benar menggeluti masalah sastra dan estetika, bukan pandangan ahli fiqih yang tidak menghayati sastra secara mendalam.

Pandangan Seyyed Hossein Nasr, Ismail R Faruqi, Muhammad Iqbal, Annemarie Schimmel, Martin Lings, dan Kuntowijoyo lebih absah dijadikan patokan menilai karya Islam, dibandingkan pandangan Salman Rushdi atau sarjana lain yang anti-Islam atau Derrida dengan teori dekonstruksinya. Teori dekonstruksi Derrida atau Harold Bloom tidak bisa dipaksakan menjadi Islami. Ini saya dasarkan pada pendapat sejumlah kritikus seperti Huston Smith, John L Caputo, dan Eugene Goodheart. Dalam bukunya, The Skeptic Disposition in Contemporary Criticism (1984) Eugene Goodheart dengan tulus memberi tahu kita bahwa kebenaran dan kebebasan (Chaos, Nihilisme dan Anarkisme!) yang digaung-gaungkan tokoh dekonstruksi murni itu merupakan bentuk Atheisme baru.


Pandangan Viddy tentang sastra dan seni Islam merupakan cerminan dari pandangan yang sering kita jumpai dalam masyarakat seni dan sastra kita. Seni dan sastra Islam dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh dicampur dengan seni yang tidak bernafaskan Islam dalam publikasi maupun dalam kajian. Dalam pandangan seperti itu seni dan sastra Islam masih dipandang sebagai mahluk ganjil, yang tak patut hidup dalam kebersamaan dengan seni dan sastra modern lain. Dalam pandangan semacam itu sastra Islam dipahami hanya sebagai sastra yang penuh dengan keasyikan memuja Tuhan dan melupakan aspek kemanusian yang universal. Karena cirinya yang demikian itu dikatakan bahwa tidak patut sastra dan seni Islam hidup bersama (koeksis) di tengah kemajemukan perkembangan sastra modern Indonesia. Pandangan sempit semacam itu perlu diluruskan, terutama oleh para seniman dan sastrawan Muslim sendiri.

Cakrawala sastra Islam sudah tentu sama luasnya dengan cakrawala ajaran Islam itu sendiri. Karena itu, dalam memandang seni dan sastra Islam kita mesti mertolak dari dalam sastra dan seni Islam itu sendiri, bukan dari arah luar sastra Islam. Sebagaimana bidang kehidupan lain yang dinaungi Islam, sudah barang tentu seni dan sastra Islam mesti berlandaskan Tauhid, bukan berdasarkan doktrin Trinitas atau ketidakhadiran Tuhan. Tauhid ialah kesaksian bahwa Tuhan itu satu dan segala sesuatu selain-Nya dan kenyataan berbagai-bagai yang kita jumpai di alam zawahir atau alam syahadah itu merupakan ciptaan-ciptaan-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan, dan juga dengan sesama manusia dan alam, menurut Islam, mesti dilandasi Tauhid. Dalam berhubungan dengan Tuhan terbuka peluang dialog dialektis antara manusia dengan Tuhan, bukan semata dialog pasif. Sajak-sajak religius Abu al-Ala al-Maarri, penyair zuhudiyyah Arab abad ke-12, banyak berisi keluhan dan dialog yang mengandung protes. Tetapi karena didasarkan pada keimanan yang mendalam, tidak menyebabkan sajak tersebut menyimpang dari Islam.

Begitu pula sajak Iqbal dalam kumpulan Jawab-i Shikwa, banyak mengandung pengaduan kepada Tuhan, sebagaimana ungkapan dalam sajak saya, Meditasi. Dalam pengaduannya itu Iqbal seolah-olah menyesali mengapa Tuhan tidak turun tangan mengatasi bencana, kerugian dan kemunduran yang terus menerus menimpa umat Islam. Pengaduan Iqbal itu tidak menyebabkan sajaknya dipandang sebagai karya yang menyimpang dari Islam, bahkan dibela oleh ulama-ulama besar seperti Syed Ali Nadwi dan Mir Valiuddin. Iqbal menjelaskan bahwa dalam Alquran Tuhan mengajarkan manusia mencari ilmu pengetahuan melalui tiga cara atau kaedah, yaitu melalui pengalaman intuitif atau kalbiah (makrifat), melalui pengalaman rasional, yaitu dengan mendayagunakan akal, dan melalui pengamatan atau observasi secara empiris. Menurut Iqbal, selain pengalaman intutitif dan akliah, Alquran juga menunjukkan pentingnya pengalaman sejarah dan sosial.

Karena itu, aliran pemikiran dalam posmodernisme yang menganjurkan penganutnya menafikan sejarah, bertentangan dengan ajaran Alquran. Manusia adalah hamba Tuhan dan khalifah-Nya di muka bumi, dan sebagai khalifah-Nya ia juga merupakan makhluq sosial dan sejarah. Kalau Alquran menafikan makna pengalaman sejarah, tidak akan memaparkan kisah-kisah yang berhubungan dengan Fir`aun dan Nabi Musa, atau Namrud dan Nabi Ibrahim, Qarun, Ratu Balqis, kaum Aad dan Tsamud. Karena itu, dalam mengkaji kesastraan suatu bangsa dan agama, apalagi ingin mengetahui perkembangan konsep dan gagasannya, timbul tenggelamnya aliran-aliran yang ada, pencapaian-pencapaian puncak para pengarang, kita tidak dapat mengabaikan sejarah. Semakin komprehensif data sejarah yang kita gunakan dalam menganalisa perkembangan sastra, semakin baik.

Sebagai contoh membicarakan sastra Melayu Islam tidak mengabaikan peranan penulis-penulis awalnya dan karya-karya yang merupakan puncak perkembangan sastra dalam periode tertentu seperti karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Nuruddin al-Raniri, dan Raja Ali Haji. Pentingnya pengalaman batin atau intuitif dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran, sebagaimana dinyatakan Iqbal, dengan sendirinya mengisyaratkan bahwa karya-karya sufistik menempati kedudukan istimewa dalam sejarah intelektual Islam. Pengakuan ini juga menunjukkan bahwa tradisi sastra Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tradisi intelektual dan spiritualitasnya.

Tauhid sebagai asas etika atau moral bermakna bahwa setiap perbuatan manusia itu mesti dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, bukan hanya kepada masyarakat atau raja, dan juga tidak kepada Amnesti Internasional atau IMF. Cara pertangungjawaban dan kriteria perbuatan yang terpuji berkenaan Tauhid itu terdapat dalam Alquran, dan bukan dalam buku Derrida atau Umberto Eco. Perjuangan amar makruf nahi mungkar, disertai keimanan kepada Allah, termasuk dalam lingkup Tauhid sebagai asas etika. Karena itu, dalam tradisi intelektual Islam banyak karya yang bermuatan solidaritas sosial, seperti karya Sa`di, Rumi dan Iqbal, yang sangat dihargai dan menempati kedudukan istimewa dalam sejarah sastra Islam.

Keluhan Eddy A Effendy tentang kisah sedih sastra Islam barangkali lebih baik dialamatkan kepada dunia pendidikan kita. Akibat sistem pendidikan yang buruk, secara tidak disadari umat Islam dipisahkan dari khasanah kebudayaan Islam dan sastranya, sehingga umat Islam di Indonesia menjadi asing terhadap tradisinya sendiri. Orang-orang ICMI di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah waktunya memperjuangkan sistem pendidikan yang dapat mengakomodasi aspirasi kebudayaan Islam. Banyak mata pelajaran yang mubazir perlu dibuang dari kurikulum dan diisi dengan mata pelajaran baru yang lebih bermanfaat dan relevan seperti pelajaran sastra dan mengarang.

Apa yang dikatakan Eddy tentang kisah sedih sastra Islam terlalu dilebih-lebihkan. Eddy bicara bahwa karya Bahrum Rangkuti adalah saduran dari Christmas Carol. Dia lupa betapa banyak karya Eropa atau Kristen merupakan saduran atau diilhami oleh karya-karya penulis Muslim. Karya Ibn Tufayl yaitu Hayy Ibn Yaqzan mempengaruhi Daniel Defoe, Jonathan Swift, dan Rudyard Kipling. Karya Dante, Divina Comedia, dipengaruhi kisah Israk Mikraj. Puisi-puisi Goethe dalam West-Oeslicher Divan sepenuhnya dibayangi oleh sajak-sajak sufistik Hafiz. Luce Lopez-Barali, seorang penulis Spanyol yang memeluk agama Islam, dalam bukunya, Islam in Spanish Literature (Leiden, 1992), menunjukkan betapa besarnya pengaruh karya penulis sufi Persia seperti Attar, Nizami dan Rumi, dalam karya-karya penulis Eropa, khususnya penulis sastra mistikal Kristen. Tetapi ini tidak menunjukkan rendahnya mutu sastra Eropa, sebagaimana juga tidak menyebabkan rendahnya mutu karya Mpu Kanwa, yakni Arjunawiwaha, yang disadur dari fragmen Mahabharata.

Ruba’yat Omar Khayyam karya Edward FitzGerald dipandang sebagai karya Inggris yang bagus dan unik, walaupun merupakan terjemahan kreatif karya Omar Khayyam, penyair Persia abad ke-12. Sumbangan terbesar Bahrum Rangkuti bukanlah dramanya, melainkan terjemahan kreatifnya terhadap sajak-sajak Iqbal dalam antologi Asrar-i Khudi. Karya Hamka terbesar yang tidak dapat disamai oleh sastrawan Indonesia modern lain adalah Tafsir al-Azhar. Karya Hamka ini telah dicetak puluhan kali di Malaysia dan Indonesia melebihi puisi-puisi Chairil Anwar atau Goenawan Mohamad. Penerimaan luas karya Hamka ini menunjukkan bahwa sastra Islam bukan merupakan kisah sedih. Karya-karya Hamka, Amir Hamzah, Hamzah Fansuri dan lain-lain juga banyak dikaji secara intensif di perguruan tinggi Malaysia, Belanda, Jerman, London, dan Amerika.

Karya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, menunjukkan kecemerlangannya sebagai pengarang muda 1930an. Rahmat Djoko Pradopo (1987) membuktikan bahwa pola naratif Hamka sangat canggih, terutama dalam membuat cerita berdasarkan sistem cerita berbingkai. Islam dalam karya Hamka di situ bukan hanya setting, tetapi Islam yang ditampilkan sebagai muamalah. Melalui karya Hamka itu kita mendapat tahu bahwa gerakan kebangsaan Indonesia tidak hanya digodog di Jakarta, Bandung dan Yogya, atau di Negeri Belanda, tetapi juga digodog oleh jemaah-jemaah haji Indonesia yang bermukim di Mekkah dan Madinah, serta di Cairo. Ini merupakan bagian sejarah sastra yang diabaikan oleh pengamat sastra kita. Melalui pemaparan di atas tampak bahwa cakrawala sastra Islam sedemikian luasnya dan takarannya pun bukan merupakan harga mati yang tak dapat diperdebatkan. Pintunya pun selalu terbuka bagi penulis-penulis Muslim yang kreatif, di samping rajin mencari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

ABDUL HADI WM, Budayawan


Artikel pernah dimuat di
Surat Kabar REPUBLIKA, kolom Refleksi

sumber foto : wikipedia

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *