oleh St Sularto
(Kompas, 22 Mei 2004)
Judul buku: Memoar Pulau Buru
Penulis: Hersri Setiawan
Penerbit: Indonesiatera, Magelang,
Cetakan 1 Februari 2004
Tebal: xix + 615 halaman
Informasi kita tentang perisiwa sekitar tanggal 30 September 1965 berikut peristiwa-peristiwa terkait sesudahnya masih penuh kontoversi. Ada beberapa versi. Di antaranya keterlibatan CIA dan pemanfaatan pembunuhan pimpinan teras Angkatan Darat dipakai sebagai pelatuk kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Memoar Pulau Buru tidak bercerita tentang kontroversi itu. Dia berkisah tentang mereka yag tertimpa nasib “kalah”. Bicara tentang pergulatan tentang seorang manusia (Hersri Setiawan) atau sekelompok manusia untuk bisa bertahan hidup dari siksaan, pelecehan, dan kekejaman yang dilakukan sesamanya. Menyusul arus balik pasca-1 Oktober 1965, mereka yang kalah – PKI ditabalkan sebagai pelaku kudeta – ditangkap, dibunuh, dipenjara, dan dipekerjakan sebagai romusha dengan sebutan tahanan politik (tapol).
Lumrah dalam suasana chaos-kacau, ada pihak-pihak yang memanfaatkan. Terjadi kekeliruan-kekeliruan yang disengaja atau tidak, di antara mereka terdapat orang-orang yang “salah tangkap”. Akan tetapi, mereka bernasib sama. Dicap tapol, dianggap layak menerima nasib sama seperti tapol, dikucilkan, ber-KTP dengan embel-embel eks tapol (ET).
Sampai sebelum Soeharto tumbang, Mei 1998, PKI dianggap sampah. Istilah PKI gampang dikenakan pada warga masyarakat yang dinilai “berseberangan” dengan pemerintah. Sebagai contoh, warga Kedungombo pernah “di-PKI-kan” karena tidak mau pindah dari tempat tinggalnya untuk proyek pemerintah. Setelah tahun 1998, semua berubah. Kekhawatiran dan sikap mulai cair. Dua desa di Kedungombo misalnya – Kedungpring dan Kemusu – sampai 13 April 2004 dibiarkan sama seperti sebelum ada proyek Kedungombo. Penduduk tak lagi dipaksa menginggalkan desa.
Menyusul mencairnya sikap terhadap peristiwa G30S, muncul buku-buku sekitar keganasan rezim Orde Baru; juga tentang dibolehkannya mereka menjadi caleg; juga mulai dibukanya kenyataan yang sebenar-benarnya di sekitar soal G30S. Bahkan, bukan hanya versi peneliti-peneliti asing dan versi pemerintah, tetapi juga versi “mereka”. Terakhir ini bisa disebut diantaranya G30S, Sejarah yang Digelapkan (2003) karangan Harsutejo, dan sejumlah buku lain. Buku-buku itu ditulis sebagai memoar, catatan-catatan pribadi selama di penjara atau analisis, ditulis sebagai kisah-kisah pelanggaran hak asasi manausia (HAM), sebagai upaya pembelaan diri; dengan maksud menggali kisah-kisah sejarah berdasarkan penceritaan lisan seperti terakhirnya misalnya Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65 (2004).
Buku-buku jenis ini dicari orang. Menarik perhatian karena sikap empati atas perundungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Muaranya: keyakinan menambah daftar dosa dan keganasan Orde Baru di bawah Soeharto. Selain itu, ditilik dari konteks pelurusan kisah sejarah, bak sifatnya personal maupun kelompok, kisah-kisah kesaksian, dan memoar menjadi bahan sejarah yang penting.
***
Karya Hersri Setiawan (68) ini merupakan satu di antaranya. Berkat kemampuan bertutur (deskripsi) yang runtut, apa adanya dan menarik, buku ini membuat pembaca sesekali meneteskan air mata atau tersenyum geli; sebaliknya pada saat hampir bersamaan diajak merenung tentang jati diri kemanusiaan, terutama dari sisi lain kemanusiaan, yakni setan-iblisnya. Hersri tidak memvonis, tidak juga menyalahkan. Ia hanya bercerita. Penuturannya membuat kita merenung: inikah yang pernah terjadi di sebuah negeri dengan pengagungan nilai-nilai Pancasila dan religiusitas tinggi?
Kesaksian-kesaksian yang menyangkut Tefaat (Tempat Pemanfaat) Buru relatif belum banyak. Kesaksian dan memoar yang sudah banyak beredar menyangkut penahanan, terutama Salemba dan Tangerang. Sedangkan tentang Pulau Buru, setelah dua seri Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pramoedya Ananta Toer, Dari Salemba ke Pulau Buru (Kresno Suroso), beberapa judul dalam kumpulan tulisan Aku Eks Tapol (Hersri Setiawan), buku Memoar Pulau Buru relatif paling lengkap.
Buku-buku semacam itu bisa dipakai sebagai referensi dengan catatan-catatan kritis. Ia bisa menjadi bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam benar-tidaknya PKI mendalangi dan melakukan kudeta, konstelasi politik di antara para petinggi tentara dan pemerintah, ada tidaknya campur tangan asing; dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab atas kekejian yang dibebankan pada PKI, berbuntut pada pembunuhan massal di antara massa rakyat!
Dari sekian bentuk penyiksaan itu, buku Hersri ini memberi bahan saksi bisu atas kekejaman kemanusiaan. Lebih dari 11.000 – dalam buku ini sebanayk 12.000 (hal 17) atau 11.948 (hal 526) selama 1969-1976, dimanfaatkan untuk sebuah proyek pembangunan—disindir sinis sebagai kerja romusha di masa Orde Baru. Pulau Buru kini – setelah Savanajaya, satu di antara perkampungan tapol – dijadikan proyek transmigrasi. Bahkan, Pulau Buru pernah dinyatakan sebagai lumbung beras Maluku. Anehnya, tidak pernah terungkap ke permukaan siapa penemu gagasan “brilian” memindahkan tapol ke Buru.
Di samping Prolog, Epilog, dan Daftar Istilah, buku tersusun atas empat bagian. Bagian Pembuka berisi kilas balik penulis atas peristiwa 30 September 1965. Bagian I tentang pergulatan para anggota PKI pasca-September 65, gelombang penangkapan atas mereka, perjalanan menuju Pulau Buru. Bagian II berkisah kehidupan di Pulau Buru. Bagian III tentang sejumlah orang yang mengesan bagi penulis. Bagian IV berisi kisah kehidupan mereka setelah “dikembalikan ke masyarakat”, dan khusus kehidupan keluarga Hersri-Jitske dan Ken anak mereka, sebelum ditutup dengan “napak tilas” penulis ke Pulau Buru tahun 1998.
***
Sesuai judulnya, Memoar Pulau Buru, mengisahkan peristiwa atau hal-hal yang diingat penulis. Kisahnya diambil dari apa yang pernah dialami. Tidak ada maksud menganalisis, memberi vonis, apalagi justifikasi. Hersri hanya mengisahkan kembali apa yang diingatnya. Inilah kesaksian, testimoni atas peristiwa masa lalu yang diingat dan dicatatnya.
Sebagai kesaksian,buku amat berarti sebab menambah bahan bagaimana bangsa ini pernah menorehkan noktah hitam dalam perjalanan kehidupannya. Buku semacam ini barangkali bisa diperluas untuk peristiwa-peristiwa konflik yang berlatar belakang politik, seperti kasus Aceh selama daerah operasi militer (DOM), Timor Timur, kerusuhan Mei 1998, atau peristiwa-peristiwa konflik di berbagai tempat lain yang seolah-olah sengaja ditutup-tutupi rezim penguasa. Dia menambahkan, kisah betapa kekerasan melekat pada sosok militer sebagai lembaga.
Hersri tidak mengutuk para penyiksa dan penyidik. Dia hanya bertutur. Padahal, dalam keadaan biasa semua jauh dari akal sehat, jauh dari rasa perikemanusiaan. Ia bisa bercanda, menertawakan diri sendiri. Bahkan, sesuatu yang sadistis dan berbahaya pun di buat jadi bahan tertawa. Misalnya, ketika sedang sedang diinterogasi atas tuduhan suatu kesalahan, dia menulis “tonwal yang duduk di sebelah kiriku menangkap seekor jangkrik upa, sejenis jangkrik kecil. Tidak kuduga sama sekali, jangkrik itu dimasukkan ke lubang kiri telingaku” (hal 394). Jangkrik tidak bisa diambil, mati dikasih obat tetes oleh juru rawat yang lebih suka mengobati sakit pusing dengan menempeleng kepala si sakit atau memukuli perut tapol yang mengeluh sakit perut (hal 196).
Kita ikut meneteskan air mata ketika Hersri bercerita tentang keluarga Trubus, pematung dan pelukis yang sampai kini tak jelas nasibnya. Pematung Si Denok – patung ini sekarang bertengger di halaman Istana Bogor, tetapi ada semacam replikanya di pinggir Danau Geneve yang berbahan perunggu – setelah mencoba bersembunyi akhirnya tertangkap. Keluarganya terlunta-lunta, rumahnya diduduki dan koleksi lukisannya hilang (hal 459-521).
Hersri, meskipun dengan rasa kasihan, harus menyaksikan ada seorang temannya selalu gagap menyebut urut nomor. Padahal, kalau salah sebut kena hantaman karaben. Pembaca marah ketika harga diri kemanusiaan dilecehkan. Padahal, hampir separuh isi buku mengisahkan kekejaman dan kebengisan terhadap tapol. Kita hanya bisa menangis saat membaca orang dibenamkan dalam lumpur, disetrum, dan dipukul kepalanya sebagai ganti bunyi peluit. Kita terenyuh ketika mereka seolah-olah dibiarkan mati kelaparan di tahanan Salemba atau Tangerang.
Hersri tidak menempatkan diri sebagai yang benar. Yang belum bisa kita terima adalah mengapa kekejaman dilakukan oleh suatu rezim hanya karena perbedaan pandangan atau ideologi politik. Meskipun bisa saja jalan pikiran itu dibalik, jangan-jangan hal yang sama terjadi kalau PKI keluar sebagai pemenang – argumentasi yang selalu dipakai oleh setiap pemenang. Akan tetapi, yang terakhir ini barulah pengandaian. Yang sudah terjadi adalah kekejaman dan kebengisan ditimpakan kepada yang kalah, bahkan merembet diembel-embeli maksud dan dendam pribadi. Yang sudah terjadi, tapol dibiarkan mati, dianggap tikus, dipekerjakan ibarat romusha di zaman Indonesia Merdeka.
Naskah Memoar Pulau Buru sudah selesai ditulis tahun 1981, saat keluarga Hersri tinggal di Tebet, beberapa tahun setelah pulang dari Buru. Jumlah halamannya 800 halaman lebih diketik dengan mesin tulis di atas kertas doslah. Ia menyimpan kopi pertama. Kopi kedua disimpan Jaap Erkelens yang waktu itu menjadi Direktur KITLV Indonesia. Kopi ketiga diserahkan kepada Mary S Zurbuchen dari Ford Foundation. Naskah aslinya berjudul Catatan di Sel Intaian.
Menurut Hersri, ketika tiba di Belanda tahun 1987, naskah itu dia ketik ulang. Sebagian di antaranya diterbitkan melalui internet, antara lain beberapa judul dalam buku Aku Eks Tapol. Baru pada awal tahun 2003, naskah diserahkan ke penerbit Indonesiatera. Tujuan penulisan, secara pribadi kepastian bagi anaknya tentang sejarah hidup bapaknya, secara umum mengingatkan noktah hitam perjalanan sejarah ini agar tak terulang kembali, sesuatu yang juga diingatkan Asvi Warman Adam dalam Epilog.
Semakin banyak kisah serupa diungkap – termasuk kisah-kisah sejarah yang tidak/belum terungkap seperti kerusuhan Mei 1998, tragedi Tanjung Proik, cara-cara penghilangan manusia, Semanggi dan Trisakti – semakin kita diperkaya oleh kenyataan kemanusiaan: pelanggaran HAM. Tujuannya jadi bahan belajar agar hal semacam itu tidak diulang kembali. Kita bongkar paradigma bahwa “sejarah itu berulang”. Sejarah tentang kekejaman dan kebengisan antarsesama manusia harus tidak kita ulang.
Dibutuhkan kebesaran jiwa. Sejumlah bangsa besar sudah memberi contoh, Jerman terhadap perilaku leluhur mereka, Hitler, Jepang terhadap perilaku brutal serdadunya. “Kesaksian” Pulau Buru adalah kesaksian sejauh yang diingat penulis. Mengingat naskah itu ditulis baru beberapa tahun sesudah penulisnya keluar dari Pulau Buru, tingkat akurasi dan autentisitasnya relatif bisa dipertanggungjawabkan. (ST SULARTO)
Sumber: Kompas, 22 Mei 2004