Oleh: Joss Wibisono
Novel Pulang karya Leila Chudori diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Maka inilah jawaban seorang novelis Indonesia kepada penulis Prancis yang pernah menulis novel tentang Jawa.
Pada 1832 terbit novel berjudul Voyage de Paris a Java (Perjalanan dari Paris ke Jawa) karya penulis Prancis Honore de Balzac. Walaupun dikenal sebagai penulis realis, Balzac sebenarnya belum pernah melawat ke Jawa. Novel itu semata-mata fantasinya belaka tentang sebuah wilayah eksotis di belahan bumi lain. Balzac misalnya mencatat bahwa di Jawa tumbuh tumbuh pohon beracun upa yang bisa menewaskan siapa saja yang menghirup aromanya.
Novel khayalan ini ditulis waktu Eropa tengah bergulat menghadapi industrialisasi yang keras dan tak kenal welas asih. Akibatnya, khalayak Eropa suka membayangkan dunia lain yang masih murni dan suci. Pembaca disuguhi cerita-cerita petualangan seperti Robinson Crusoe atau Sinbad. Tidaklah mengherankan bahwa Balzac juga berniat menulis kisah seperti itu. Pada akhir novel dia mengaku mendasarkan bukunya pada penuturan seorang bangsawan Prancis yang suka berpetualang walau tidak jelas apakah sang bangsawan benar-benar pernah ke Jawa.
Berkat imajinasi Balzac, Jawa mulai dikenal orang Prancis. Mungkin inilah yang mendorong penyair revolusioner Prancis Arthur Rimbaud melawat ke Jawa. Pada 1876, dia sempat dua bulan tinggal di Salatiga. Sayang waktu itu Rimbaud sudah tidak menulis lagi, sehingga tak ada yang tahu bagaimana kesannya tentang Jawa. Tidaklah mengherankan bahwa banyak penulis tergoda mereka-reka perlawatan ini, termasuk Triyanto Triwikromo yang menulis cerpen fantasi berjudul “Hantu di Kepala Arthur Rimbaud”.
Pada abad ke-19 itu, orang Paris akhirnya berkesempatan juga menyaksikan le village javanais (desa Jawa) tatkala berlangsung l’Exposition universelle (pameran semesta) yang digelar di kota tersebut pada 1889 untuk memperingati seabad Revolusi Prancis. Paviliun Belanda yang bernama Desa Jawa itu “dihuni” oleh penabuh gamelan Sari Oneng yang didatangkan dari Desa Parakan Salak, dekat Sukabumi; penari Keraton Mangkunegara, Solo; dan beberapa pengrajin serta pembatik yang berasal dari Surabaya dan Yogyakarta.
Tidaklah berlebihan kalau disimpulkan Jawa sudah tertanam pada kalbu orang Prancis. Sekali-sekali, pada zaman lain, ingatan tentang Jawa itu muncul lagi. pada tahun 1963, misalnya, penyanyi Serge Gainsbourg mencipta sebuah lagu pop berjudul “La javanaise” yang berarti “perempuan Jawa.”
Inilah konteks yang melatarbelakangi penerjemahan novel Pulang karya Leila S Chudori ke dalam bahasa Prancis. Retour, begitu judul bahasa Prancisnya, diluncurkan pertengahan Oktober lalu di Paris, saat berlangsung acara dua tahunan Semaine de litterature Indonesienne alias Pekan Sastra Indonesia. Penyelenggaranya adalah Association franco-indonesienne (Perhimpunan Indonesia-Prancis) Pasar Malam. Bergerak di bidang sastra, perhimpunan inilah yang juga menerbitkan Retour.
Butuh waktu nyaris dua abad (persisnya 182 tahun), sebelum akhirnya novel imajinatif Honore de Balzac memperoleh jawaban dari seorang penulis Indonesia. Jawaban? Benar, bagi publik pembaca Prancis, Pulang adalah jawaban, karena di dalamnya Leila Chudori bertutur tentang orang-orang Indonesia yang hidup dalam pengasingan di Paris. Kalau dulu Balzac menulis tentang Jawa maka sekarang Leila menulis tentang Paris. Bedanya, si sastrawan Prancis menuliskan imajinasinya, Leila mendasarkan novelnya pada penelitian yang saksama.
***
Dalam Pulang bertebaran uraian tentang Paris dan warganya, tak ketinggalan pula sejarahnya, itulah sejarah tahun 1960-an tatkala protes mahasiswa mengguncang ibukota Prancis. Uraian Balzac tentang perempuan Jawa menggugah imajinasi pembaca, seolah-olah mereka menyaksikan sendiri kecantikan perempuan Timur yang diliputi misteri.
Harus diakui Paris bukan satu-satunya kota tempat kejadian (setting) Pulang. Di bagian akhir novelnya Leila juga menulis tentang Jakarta Mei 1998 ketika rezim Orde Baru diruntuhkan. Tapi tak pelak lagi, Paris adalah alasan utama mengapa novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, mendahului terjemahan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris yang baru akan terbit bulan-bulan mendatang.
Merasa tersanjung, Leila sangat bersyukur novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, hanya dua tahun setelah terbit pada 2012. Itu memang periode yang relatif pendek, apalagi karena ini baru novel pertamanya. Kumpulan cerpen pertamanya, yang berjudul Malam Terakhir (1989) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Salah satu cerpen dari kumpulan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Denmark. Sedangkan kumpulan cerpen keduanya Sembilan dari Nadira (2010) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Yang bagi Leila Chudori juga istimewa adalah peluncuran Retour. Pertama, peluncuran itu berlangsung di Paris, kota latar belakang sebagian besar novelnya. Leila menegaskan ibukota Prancis itu adalah kota yang punya arti penting bagi penciptaan Pulang. Kedua, peluncuran Retour berlangsung dalam acara khusus yang mengkajinya dari pelbagai segi oleh pelbagai ahli. Pulang misalnya dibandingkan dengan fiksi-fiksi Indonesia lain yang menggunakan setting Paris atau Prancis. Dengan begitu Pulang tidak hanya menerima pujian tapi juga kritik.
Salah satu pujian pada Leila adalah kelihaian dan ketelitiannya menggambarkan perasaan kaum pria. Banyak kalangan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang penulis perempuan bisa melakukan hal itu? Di lain pihak, pakar sastra Indonesia Philippe Granger yang secara khusus mewawancari Leila, bertanya mengapa Pulang tidak juga menampilkan G30S dalam versi Orde Baru. Dari awal Leila memang sudah menegaskan tidak berniat ikut-ikutan menyebarkan sejarah versi Orde yang sudah disingkirkan itu. Tapi tentu saja Granger ingin tahu mengapa Pulang tidak menampilkan karakter yang mewakili Orde Baru. Dengan para korban sebagai tokoh utama, Orde Baru hanya tampil dalam diri tokoh-tokoh figuran. Misalnya satu keluarga tak penting yang begitu mendukung Orde Baru tapi salah satu anaknya ternyata berpacaran dengan seorang anak tapol. Karakter (dan bukan versi) Orde Baru tetap penting karena dengan begitu bisa diungkap bagaimana penguasa tangan besi ini harus menghadapi keruntuhan sejarah versinya.
***
Sekarang tatkala Pulang sudah bisa dinikmati oleh publik pembaca Prancis, Leila berharap mereka tidak hanya akan berkenalan dengan Indonesia, tetapi terutama dengan periode kelam 1965-1966. Selama ini dari kalangan generasi muda pembaca Indonesia, Leila juga mendapati bahwa novel pertamanya ini merupakan pintu gerbang yang membuka niat memahami G30S. Dia mendengar banyak pembaca muda mencari bacaan lebih lanjut mengenai peristiwa kelam ini, begitu selesai membaca Pulang.
Sambil menanti terjemahan-terjemahan selanjutnya ke dalam bahasa Belanda, Jerman dan Inggris, Leila sudah mendengar selentingan tentang niat memfilmkan novelnya. Kalau itu benar-benar telaksana, ia berharap film itu akan merupakan produksi bersama Indonesia-Prancis.
Joss Wibisono, pemerhati sastra Indonesia yang menetap di Amsterdam, Belanda
Sumber: Suara Merdeka, 11 Januari 2015